Media Massa Tidak Murni lagi Sebagai Kekuatan Keempat

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Pasca ditumpas habisnya perusak ketentraman Sarinah di kawasan Thamrin Jakarta oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan jeda waktu yang relatif terbilang sangat cepat, menghadirkan rentetan pujian masyarakat juga komunitas warga netizen di medsos. Tak hanya itu kiriman jempol dari luar negeri juga berhamburan memuji Indonesia yang sukses luar biasa.

Media Massa Tidak Murni lagi Sebagai Kekuatan Keempat

Bola salju pun kian menggelinding, pemirsa media elektronik disuguhkan seabreg konsumsi berita yang juga menyita perhatian warga negara Indonesia tercinta. Dalam hitungan hari media cetak, elektronik plus media sosial seperti Facebook dan twitter, ramai memperbincangkan kisah secangkir kopi yang menjadi inspirasi bagi pembunuhan "almarhumah" Wayan Mirna yang dilakukan oleh pembunuhnya.

Sudah berbulan-bulan kasus Kopi bercampur Sianida menggerayangi wajah media nasional kita, lalu dengan sekejap saja kisah tragis gagalnya teroris Sarinah terlupakan. Begitu pula dengan aliran sesat Gerakan Fajar Nusantara Gafatar (bukan avatar), yang ternyata adalah reinkarnasi dari gerakan sempalan akidah berbau fanatik pimpinan Ahmad Mozadeq yang pernah mengaku sebagai Rasul Baru, lalu kemudian meralat pengakuannya setelah pemerintah turun tangan.

Satu lagi fenomena LGBT yang sejak kelahirannya di muka bumi pada zaman Nabi Luth, beranak pinak, berkembang biak melahirkan generasi kota Soddom di abad modern. Belum lagi kisah penjualan organ tubuh berupa ginjal yang melibatkan kalangan medis dengan ratusan juta untuk setiap donornya. Lalu kemudian akhirnya masyarakat lupa pada berita penjajahan Freeport, termasuk kasus papa minta saham, juga tak ketinggalan pelecehan yang dilakukan anggota Dewan terhadap stafnya, dan lain sebagainya.

Ya, saya sudah tidak heran dengan berita yang dikumpulkan dari data primer dan data sekunder, ia selalu ada sebagai konten dan diperlukan untuk membangun opini pemirsa. Kawan-kawan saya di Fakultas Ilmu Komunikasi yang kini berprofesi sebagai jurnalis mungkin juga sangat faham dengan mata kuliah analisis isi, ---jadi ingat kenangan semasa mahasiswa---.

Bagi saya, kini media massa tidak lagi menjadi pure (baca murni) kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, dan menjadi motor penggerak perubahan masyarakat. Sebab media kini tidak lagi menjadi alat kontrol sosial seperti dahulu, namun lebih banyak bekerja dan berfungsi sebagai kekuatan ekonomi, maksud saya, media tidak lagi menjadi corong efektif pembangunan karakter bangsa, namun lebih banyak menjadi kaki tangan pengusaha yang memiliki media.

Jadi, menurut saya, sah-sah saja jika konten media yang lalu lalang di depan mata memaksa mengaduk-ngaduk pikiran dan perhatian kita pada sebuah kasus, sementara kasus-kasus besar bangsa lainnya menjadi terlupa. Apalagi dengan menjamurnya televisi berita, juga media sosial yang tumbuh berkembang bak cendawan di musim hujan, telah melahirkan konten berita, sehingga setiap orang berhak dan memiliki kapasitas untuk membuat berita dan menciptakan kontennya sendiri.

Namun, terlepas dari itu semua, melalui fanpage ini, saya ingin mengajak kepada seluruh anak bangsa yang sangat mencintai Indonesia, agar tetap memiliki kecermatan yang tinggi terhadap pemberitaan sebuah konten dari media apa pun, juga media dari mana pun. Persoalannya harus ada tabayyun atau kejelasan yang melekat pada sebuah konten berita, khawatir kita akan terjerumus ke jurang fitnah dan adu domba yang sesat dan menghancurkan kesatuan wilayah nusantara.

Akhirnya saya teringat pada perkataan Sayyidina Ali (semoga Allah memuliakan wajahnya) "lihatlah apa yang dikatakannya, jangan kau lihat orang yang mengatakannya". Qoul ini mengingatkan saya tentang pentingnya substansi sebuah konten. Tapi saya juga teringat Kalam Allah, "mereka berbuat makar, Allah pun berbuat makar, dan hanya Allah sajalah yang berbuat sebaik-baik makar". Kini zaman sudah berubah berkali lipat dari seratus delapan puluh derajat, Emha Ainun Nadjib menyebut zaman Gendheng, tapi saya lebih nyaman dengan menyebut zaman ini adalah puncak keingkaran manusia kepada Tuhan.

Sepahit apa pun kopi, asal kita harus extra hati-hati, jangan sampai pahitnya hilang gara-gara otak busuk pencipta kisah Sianida di secangkir kopi, atau lebih jauh kehilangan orientasi kepada masa depan akhirat gara-gara otak kita dijejali oleh konspirasi global menghancurkan Indonesia dan menghancurkan Islam.

Walloohu a’lam bishshowwaab.

Palangkaraya, 06 Februari 2016
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url